(Kenangan tentang
Tanjungkarang)
Iswadi Pratama
Kenangan Pertama
I
Panggung adalah sebuah taman di mana
patung-patung putih berusaha mengucapkan diri dan kenangannya tentang
seseorang. Seseorang yang pernah duduk di taman itu dan meninggalkan semacam
rasa perih dan kerinduan yang tak bisa berhenti, tak terobati.
II
Satu per satu pemain meninggalkan panggung — dengan caranya sendiri-sendiri. Sunyi. Panggung adalah
kekosongan. Beberapa saat kemudian seseorang menyusup, melintasi panggung. Dari arah yang berlawanan, seorang
lainnya melakukan hal serupa. Hal ini terjadi susul
menyusul. Mulanya mereka hanya berjalan perlahan. Kemudian bertambah cepat,
makin cepat, akhirnya berlari.
Orang-orang dengan berbagai karakter itu hilir mudik, susup-menyusup. Kesibukan sebuah kota. Lalu
sunyi. Fade out.
III
Fade in: Di
panggung hanya seorang “laki-laki yang asing” dan perempuan terbujur bersisian
dengan arah berlawanan. Lalu mereka berpeluk dengan tubuh yang tetap melekat
pada lantai. “Laki-laki yang asing” itu tampak pucat, namun cantik dan lembut. Ia mendekap si perempuan yang juga
tampak pucat.
Laki-laki yang asing:
Tanjungkarang terlalu tenang untuk
jiwa yang gelisah. Kota ini terlalu
cepat tidur untuk pikiran dan panca indera yang ingin terus mengembara. Tapi
entah mengapa, seakan tak ada tempat di sini yang bisa memberi sekadar ruang
untuk seseorang berdiam, bercermin, melihat, dan menata kembali nilai-nilai
dalam dirinya. Tak ada taman juga teman untuk melewati sebuah hari, meloloskan
diri dari perangkap kejemuan dan hidup yang telah menjadi rutin.
Aku pergi ke bioskop, mengira kamu
ada di sana, nyatanya hanya gambar-gambar dari poster film yang melulu
memamerkan cerita usang. Aku masuki mall, supermarket, kafe-kafe, kedai di
pinggir jalan, toko buku, perpustakaan, museum, terminal, stasiun, pasar,
semuanya seakan-akan tengah berdandan menyembunyikan rasa frustrasi dan
kegagalan.
Ah…aku melihat iring-iringan
demonstran merayapi jalan-jalan yang mulai sering mampat. Aku mendengar
teriakan, slogan-slogan, mencium bau keringat, merasakan sebuah semangat. Tapi
nun di sana, politik dan kekuasaan telah menjelma sebuah lapisan yang majal.
Di sebuah simpang jalan, sepasang
mata bocah mencegatku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan. Sebelah lengannya
menggenggam ujung karung yang menggelantung di bahunya yang mutung. Siang terasa murung.
Mata bocah itu seperti kilatan belati. Ia menyimpan kemarahan juga rasa tak berdaya. Tapi ia
lebih jujur terhadap hidupnya sendiri….
Fade out: Si lelaki yang asing terus bergumam sambil memeluk perempuannya.
IV
Orang-orang berdatangan
dari berbagai arah, bergumam, membaca mantra-mantra. Mantra-mantra menjadi
hujan. Orang-orang kuyub dan menggigil di bawah hujan. Pada sebuah tempat, di
bilik, seseorang menikmati tetesan hujan yang jatuh dari genting yang bocor di
kamarnya. Suara tetesan hujan itu berbaur dengan hujan yang mengguyur
jalan-jalan, kota, atap-atap rumah, gedung. Tapi suara tetesan hujan itu
terdengar seperti sebuah kesendirian yang hendak menegaskan dirinya.
V
Hujan tak henti
menggugurkan kenangan. Memerangkap setiap orang yang melintas di kota itu.
Perempuan di bawah payung:
Di sepanjang jalan Tanjungkarang,
Januari gugur seperti hujan. Kemilau pasar; cahaya di pipi perempuan. Lelakiku
kesasar di sini, dalam setiap dering telepon, kartu pos, dan pacar lama; tak
ada tempat singgah.
Entah berapa kalender lalu sudah,
tak bisa kutandai, selain nyeri sobekan kulir pada karat besi.
Bahuku dingin, disergap angin yang
runcing dan matahari yang berkali-kali jatuh, berlembing-lembing, mendesing.
Di sepanjang jalan Tanjungkarang,
hujuan gugur, Januari mengguntur. Aku merapatkan mantel dan kerah
kemeja. Orang-orang menyusun kembali dirinya, memasuki masa lalu yang terus
tumbuh dalam otakku.
Perempuan yang bergegas:
Seharusnya aku tak meninggalkanmu. Tak ada siapa pun di
kota ini, hanya orang lain. Kota, yang kini berjalan memasuki diriku, berusaha
melepaskan dirinya dari kenangan semua orang. Seekor burung gereja, mungkin ikarus, kedinginan di taman kota.
Menggelepar, lalu mati. Tak ada suara, tapi berdegap di jantungku.
Aku ingin berlari, menepak bahu
setiap orang, mendentangkan lonceng gereja, menggemakan azan. Tapi kematian dan
kehidupan hanyalah hal biasa. Tak ada lagi upacara.
Perempuan-perempuan tampak pucat di bawah payung. Seorang laki-laki berlari. Seorang
lainnya berjalan membawa belati. Orang-orang terus
berlintasan. Kabut-kabut. Lonceng. Bayang dan Silam melangkah pelan di
antara kerumunan.
Para perempuan berpayung:
Misalnya kita bisa menempuh pagi,
pada sebuah hari yang tak tercatat, kabut yang padat, akan kuceritakan kenangan
tentang sepasang lengan yang terus menerus gemetaran menyimpan belai tak
sampai. Sepasang lengan yang sudah terlalu kau kenal namun tak dapat kau temukan.
Acap mau saja aku menjelma menjadi
hujan di ceruk matamu yang dalam, menyampaikan semua mimpimu tentang esok yang
indah, benih-benih tumbuh di halaman, akhir kesedihan…
Tetapi engkau adalah sungai yang
meriwayatkan kenangan. Di situ kakiku terbenam, senyap dan menggetarkan…
Kaki yang tak bisa pulang dan
menyimpan seluruh peta, cerita-cerita lama, denah kota. Kaki yang kini
ditumbuhi ilalang, silsilah petualang…
Engkau adalah sungai yang
meriwayatkan kesedihan. Sepanjang Januari yang resah dan muda karena hujan…riak
arusmu seperti awal senggama di pangkal usia, serupa sepi bergetar di batang
zakar, pahit candu di puting susu…
Misalnya kita bisa menempuh pagi,
pada sebuah hari, yang penuh ingin, yang tak mungkin.
VI
Bayang meninggalkan Silam. Silam mengejar Bayang. Lalu
keduanya saling buru, saling kejar, saling hilang.
Bayang:
Silam, ke mana pun kau pergi akan
kuburu. Jangan terlalu cepat larimu.
Kakiku mulai linu dan rapuh. Berhenti Silam. Aku
kedinginan. Kota ini makin membuatku amnesia, terlalu banyak nama jalan dan
gedung-gedung yang terus menerus lahir seperti bayi-bayi kita yang tak pernah
ada. Aku kesasar di sini Silam…aku kesasar…..!
Silam:
Dasar lonte karatan! Kau terlalu cengeng dan
tak pernah sabar sendirian. Aku lagi mengarungi sunyi. Jangan ganggu aku. Aku
ingin sejenak bersama diriku sendiri. Aku ingin berziarah, aku ingin berdoa,
aku ingin menyaksikan bagaimana kota ini telah mencabik-cabik seluruh
silsilahku. Pergilah Bayang, jangan ganggu aku…
VII
Silam dan Bayang menempuh kota, menembus hujan, mengarungi sunyi. Menjadi renta dan lelah. Orang-orang berlalu.
Bayang: Silam,
aku capek
Silam: Aku juga capek
Bayang: Perutku koyak karena lapar
Silam: Aku ngaceng karena kesepian
Bayang: Kita telah ditinggalkan
Silam: Mereka tak peduli pada kita
Silam dan Bayang di batas paling tepi dari sepi. Di luar waktu.
Bayang: Lengang…
Silam: Kosong…
Bayang: Hujan sudah reda, menguapkan bau tanah
Silam: Aku lebih suka bau tanah daripada baumu
Bayang: Bau tanah dan bauku sudah menyatu
Silam: Lebih baik kau menyatu denganku
Bayang: lebih baik aku jadi bangkai
Silam: lebih baik aku jadi anjing agar bisa menyantap bangkaimu
Silam dan Bayang
melolong. Saling terkam.
Bayang: Santap aku Silam. Habisi aku. Aku bangkai untukmu.
Silam dan Bayang senggama di tengah jalan raya. Di luar waktu.
Para perempuan yang bergegas:
Maaf, aku harus bergegas. Kau dan
kamar itu terlalu sesak, cengeng dan penuh umpat. Aku akan ke Tanjungkarang,
mungkin makan, melihat-lihat pakaian, atau tidur dengan kenalan. Bukankah kita sudah sepakat untuk saling
menghianati? Tak usah kau telepon. Aku akan pulang larut
malam. Bersihkanlah buku-buku dari debu. Tinggalkan catatan jika pergi. Ah,
ya, sepatumu penuh lumpur dan radio belum kau matikan sejak semalam.
Jangan kau hisap racun serangga itu,
aku tak mau menguburkanmu. Aku mencintaimu, tapi aku tak punya hati….
VIII
Jalan-jalan kota dipenuhi bangkai, lalat-lalat. Silam dan Bayang menari di
antara kerumunan lalat. Bahkan keduanya menjelma menjadi lalat.
Lalat-lalat. Bangkai-bangkai. Bayang meninggalkan Silam. Silam terus berdengung hingga
ber-metamorfosis menjadi burung.
Silam: Bayang…adakah
engkau di situ? Di langit yang pupus oleh tangisan. Di dengung lalat dan debu
melayang?
Kalau kau mati Bayang, bagaimana aku mengirimkan doa…?
Langit telah menampik kita…..
Kenangan Kedua
I
Fade out/Fade in: Lelaki
yang asing melintas
While I was entering
the town, the rain had calmed down, cold was crawling between acacia stalks,
sniffed back leaves, wed sticks, crawled from window cracks, a door opened half
way. Embraced plane clothes that I had never found time to make them neat,
caressed wall, arm, cheek, neck and shoulder. The cold crept into the air,
formed clots, frozen, embodied memory of a long daytime….
There was loneliness
among haze and shadow. Loneliness, so close to our mind; loneliness, so
arrogant, and it never went away from our hearts. Loneliness that had guided us
to settle in a garden of illusion, and then left us there with no sign where we
should step on.
That loneliness too
put pressure on me, on the night, I embraced you with all desire and frightened
to lose feelings.
That night, I
pervaded your body like a wave that would not be without an ocean. In the
middle of worry, desperation, and hope: our passion, I embraced your soul, I
kissed your lips. We were ambushed by the energy that could not be refused. I
felt, suddenly, your body sent out a white and sparkling shine. I wished to
sink all desire in your spout shine, to settle the longing from the love that
had never been seen, I sucked your body scent with my five senses. Your body
became an altar where I sacrificed my body. Please stab me, bring me to an end,
eradicate me, kill me.
Ah…the dark settled
then. The remains of the rain on the acacia leaves had fallen with the last
wind. It would be night. The moon that season was pale. But the sky would be
gleaming as your face that I always longed for. I sat on the sofa with a cup of
coffee that was cold and with the memories of you that never left my mind, not
even a second…
(Aku kesulitan
mencari padanan kata yang tepat dalam
bahasa Inggris. Di bawah ini aku sertakan teks dalam bahasa Indonesia. Namun
sebagian kupotong)
Ketika aku memasuki
kota ini, hujan baru saja reda. Ada dingin merayap diantara batang-batang
akasia, mengendus punggung dedaunan, ranting-ranting basah, menyusup dari celah
jendela, pintu yang setengah terbuka. Menbekap baju-baju pucat yang tak pernah
sempat kurapihkan. Mengusap lengan, pipi, tengkuk, dan bahu. Dingin juga meruap
di udara, menjelma kenangan sepanjang siang.
Ada sepi bersijingkat
diantara remang bayang-bayang. Sepi yang sudah terlalu kita kenal. Sepi yang
selalu congkak dan tak pernah mau beranjak dari singgasananya dalam hati kita.
Sepi yang dulu membimbing lengan kita memasuki kebun-kebun impian, lalu
meninggalkan kita disana tanpa sedkitpun memberi tanda kemana harus melangkah.
Sepi itu juga yang
mendorongku, pada suatu malam, memelukmu dengan segenap rasa kangen dan takut
kehilangan...
Fade out.
II
Lalu semua berbicara. Mengatakan apa pun yang bisa atau tak bisa dikatakan,
menjual apa pun yang bisa/tak bisa dijual, memaki apa pun yang bisa/tak bisa
dimaki, menangisi apa pun yang bisa/tak bisa ditangisi, menertawai apa pun yang
bisa/tak bisa ditertawai, menjadi apa pun yang bisa/tak bisa menjadi.
1. Maaf saudara-saudara. Tidak ada lagi yang bisa
saya jual dari diri saya. Semuanya
sudah habis, sudah selesai. Tolong, jangan desak saya, please…. Apa?
Anda mau menulis biografi saya? (Tertawa).
Maaf beribu maaf saudara, itu pun sudah ditulis oleh
ratusan pengarang terkenal dan yang debutan, riwayat sejak saya kecil hingga
saya menjadi public figure saat ini, sudah tuntas dituliskan. Bahkan,
sebentar lagi akan terbit sebuah buku yang mengungkap kisah saya saat dalam
kandungan. What? Kisah hidup orang tua saya? Sekadar untuk saudara
ketahui, buku tentang riwayat nenek moyang saya pun sudah dicetak
berulang-ulang. Jadi, sekali lagi, maaf beribu maaf saudara-saudara….
2. Politik saudara-saudara, tidak
ada investasi paling menjamin bagi masa depan Anda selain ber-politik. Politik adalah gaya
hidup. Politik adalah cara cepat dan mudah untuk meraih sukses. Untuk
ber-politik di negeri ini, Anda tidak memerlukan persyaratan yang rumit-rumit.
Jika Anda tergolong tidak bermodal, Anda hanya membutuhkan lidah yang panjang,
perasaan yang lebih keji dari siapa pun, dan seni menipu yang paling ulung.
Jadi, tunggu apa lagi, marilah bergabung…kumpulkan semua pikiran dan niat jahat
yang pernah ada dalam hidup Anda, bersama-sama kita satu padukan kekuatan untuk
menipu rakyat!!!
3. Jika Anda termasuk orang yang
sulit berbahagia, datanglah ke salon kecantikan kami. Salon kami dilengkapi
teknologi baru; khusus memperbesar apa pun yang ingin Anda perbesar. Anda bisa memperbesar
bola mata Anda, bibir Anda, hidung, gigi, lidah, telinga, payudara, kelamin,
pinggul… Bahkan Anda juga bisa memperbesar pori-pori, lubang hidung, dan lubang
pantat Anda. Kami akan melayani Anda dengan biaya paling murah dan jaminan
keamanan tingkat tinggi. Selain itu, kami juga mampu membuat duplikat dan
menggandakan kelamin Anda. Semuanya demi kepuasaan dan kebahagiaan Anda….
4. Gua bunuh lu! Gua bantai lu! Gua
bakar lu! Gua serbu lu! Gua habisi lu! Gua cincang lu! Burit lu! Babi lu!
Anjing lu! Setan lu! Iblis lu! Hantu belang lu! Kutu monyet lu! Dajjal lu! Penjilat
lu!.... Adakah kosa kata yang hilang di sana…? Busuk lu, bangke’ lu, jembut lu! Taik cacing... Adakah kosa kata yang….
5. Oi….pulang oi…..suami lu di-PHK,
rumah lu digusur, bapak lu dibantai….anak lu
diperkosa, bini lu jadi babu, oi….pulang oi….suami lu dipenjara…rumah lu
dibakar…bapak lu masuk jurang….anak lu bunuh diri…
bini lu dijual…. oi… pulang..oi…… mau jadi apa lu…oi…. pulang oi….
6. Bila malam telah
datang, rembang petang menghadang, suara jangkrik dan kesunyian berpadu dengan
nafas-nafas kehidupan, bulir-bulir embun luruh, bilur-bilur hidup tersepuh…
secangkir kopi diseduh, menghantar istirahat Anda di peraduan. Untuk menemani dan
melengkapi kebahagiaan Anda, stasiun TV kami akan segera menayangkan “Sinema
Setan……!” hihihihihihihi… .
7. Saudara-saudara, saya akan
mengajak Anda berpetualang ke masa depan. Saya akan memperkenalkan hasil akhir
dari pertumbuhan spesies bernama manusia. Ini merupakan maha-karya yang selama
beratus-ratus tahun dikerjakan oleh para peneliti paling handal di dunia ini.
Adapun sosok manusia masa depan itu merupakan perpaduan dari seluruh ras
manusia yang pernah ada dengan semua jenis hewan, tumbuh-tumbuhan, dan semua
bangsa jin. Inilah hasil akhir dari perkembangan fisik dan mental manusia masa
depan.
8. Agama…agama…agama…! Saya
menawarkan agama baru bagi jiwa-jiwa Anda yang gelisah dan rindu akan
ketenangan. Dengan mengikuti agama ini, Anda akan mendapat berbagai macam
fasilitas dan kemudahan. Anda juga akan mendapat credit card, layanan
belanja gratis di seluruh supermarket yang lengkap, bebas roaming
dan bebas pulsa….dan layanan paling istimewa bagi Anda; dalam agama baru ini
neraka tidak ada!
III
Orang-orang ekstase di tengah pasar. Kesurupan.
Kenangan Ketiga
I
Mandi di sungai.
Syair: Ai…ai…ai
Mandilah badan, mandilah sukma dan pikiran
Di sungai yang tenang, sungai yang bening,
Sungai yang memantulkan
cahaya
Mengalir menuju laut, menuju samudera
Jadi mantra-mantra, jadi doa-doa
Ai…ai…ai
Di relung hati, di lubuk dalam jiwa
Simpanlah simpan rasa sakit
Ai…ai…ai
Beningnya mata, beningnya hati
Cahaya langit berkilau-kilau
Bertahta di kerajaan para Diwa
II
Musik bertalu-talu, nyanyian, joget, joget, joget! Pesta rakyat; mereka
meluap-luap menyambut kedatangan diri mereka yang lain, mengabarkan semua
kesedihan dengan cara yang amat riang.
1.
Hei….! Aku melihat kamu dirimu, di
sepanjang kota ini!
2.
Aku melihatmu menjelma bayang-bayang
di antara gedung yang menjulang.
3.
Ho..ho…ho…ho…lihatlah, kita jadi
anjing di sini.
4.
Yei…yei…yei…aku merasakan
kehadiranmu, di sini, di antara puing-puing, bau bangkai, dan debu….
5. Aku ingin pulang ke desa-desa
ke kampung halamanku tapi tak ada kenanganku di sana…ha..ha.ha….
Mereka terus berjoget, menari,
bernyanyi. Lalu lelah, lalu rebah, lalu kalah.
Fade out.
Kenangan Keempat
I
Dongeng pepohonan
Suatu ketika, mungkin pada sebuah pagi atau
sore yang trembesi. Kau akan dikejutkan bukan oleh gaduh hujan atau tubuh yang
luruh, melainkan bayang-bayang pohonan, gelap dan memanjang dari kebun belakang
rumah yang lama kau tinggalkan. Bayang-bayang pohonan itu akan menyelinap ke
dalam benak. Menjadi hutan, di mana semua silsilah akar, batang, daun, dan
buah, lesap ke dalam silam.
Di hutan itu, sungai-sungai tak henti menghanyutkan
cahaya. Memantulkan tubuh-tubuh leluhurmu yang berabad-abad mencair,
mengirimkan badai, mencipta daratan, impian, juga nama-nama yang tak semuanya
terbaca. Lalu, kau mulailah pengembaraan itu, tanpa peta, menempuh arus tak
berhilir, tak berhulu. Maka, di sebuah delta, ibu bapakmu adalah sebatang pohon
besar. Kau bisa melepas lelah, atau meninggalkan semacam pesan untuk anak-anak
yang kelak mungkin memanggilmu bapak. Tapi kau tetap tak boleh lelap di
situ. Sebab, setiap impian baru adalah kelindan akar hutan yang akan menjebakmu
ke dalam goa-goa gelap tempat semayam para jin dan hantu-hantu bernafas bacin.
Kau harus berani meninggalkan segala yang kau cintai, karena ufuk hari akan
terbit di batas sendiri. Maka, tebanglah pohon besar itu dan bikinlah perahu.
Suatu ketika, kau akan dikejutkan,
bukan oleh hutan atau bayang-bayang pohon yang memanjang, melainkan isak yang
sesak. Dan kau menangis karena akhirnya kau menangis. Lalu air matamu menjadi
lumpur di ujung sepatu, meninggalkan jejak di gigir sihir waktu.
Pohon-pohonan berubah warna, selaksa
bentuk bertukar rupa. Sepi congkak dan sejarah yang tinggi hati menantimu
dengan pisau dari ranting-ranting pohon waru
di tepi jalan itu, di pangkal sesalmu.
Di pangkal sesalmu, pohonan, sungai,
waktu, adalah leluhur yang berabad-abad tertidur.
Lalu, suatu malam, dan mungkin ini
sudah terlalu sering terjadi, kau akan duduk di depan meja, membaca, atau
menuliskan sesuatu dengan amat rahasia. Atau memastikan kembali wajahmu di
depan kaca dan berdoa, mengingat-ingat segala peristiwa, menanti-nanti impian
yang sudah lama tak muncul dalam tidur…
Lalu kau merasakan telah
melakukan semua yang sangat berharga, sepanjang hidup, sambil membaca lagi
dongeng dari masa silam. Dan, tiba-tiba kau ingin sekali keluar, menemui
kawan-kawan lama, mencari tempat-tempat yang sudah tak beralamat, mencoba lagi
segala yang sempat atau terlewat.
Tetapi yang kau dapati hanya hari-hari coklat, lorong-lorong gelap, bekas-bekas
sunyi berkarat. Sementara hidup ada di sisi lain, rapat terkunci dan tak
bisa kau masuki. Fade out.
Fade
in. Lelaki yang asing tersentak dari tidurnya.
Sebuah jalanan yang seakan pernah kulalui - entah kapan -
tiba-tiba menyampaikanku ke batas paling tepi dari sepi. Di sini seluruh
langkahku menggema kembali, impian yang tak sempat diwujudkan memekarkan
kesedihan dan harapan. Aku ingin sekali menjadi jalanan; membawamu ke sebuah
tempat yang mungkin ada, mungkin pula tak ada. Sebuah jalan lain di sepanjang
Tanjungkarang…. Fade out.
II
Fade in: Silam berlari di
sepanjang kota, memburu Bayang. Ambulance. Bayang dalam
sekarat. Orang-orang berkelojotan di jalan-jalan. Kota sebuah ruang
gawat-darurat.
Silam: (Chorus)
Bayang….! Aku arungi
sunyi. Aku tempuh lagi kota ini. Aku masuki pasar, terminal, supermarket, bioskop, museum,
pelabuhan. Aku ketuk pintu rumah setiap orang. Aku masuki masjid, gereja,
kelenteng, goa-goa peribadatan, mengira kamu ada di sana, nyatanya kamu tidak
ada.
Bayang…apakah
cahaya telah membakarmu. Aku rindukan bau amis tubuhmu, aku hasratkan mulutmu
yang selalu bacin karena dahaga dan lapar. Aku angankan runcing pisau amarahmu
menikamku…
Bayang: Silam……! Aku dalam
sekarat panjang. Setiap detik
lewat tanpa harapan. Kanker terus menjalar dalam tubuhku.
Kelaparan sudah menjadi
pelangi. Aku tidak diperkenankan lagi bermimpi.
Semua yang indah telah
dirampas dari hidupku. Aku terus berjalan di trotoar kota, aku tak pernah tidur
lagi. Aku merindukan kamu, Silam. Tapi kamu juga sudah dirampas. Bahkan kamu sudah tidak
lagi memiliki dirimu sendiri. Kota ini menampikku, tak ada lagi
kenanganku di sini. Semua hal sudah menjelma menjadi tumor. Aku dalam sekarat
panjang, Silam….tolong cari bangkaiku.
Jadilah anjing, santap aku, sudahi aku…
Mantra-Mantra: Kugali-gali kuburku dangkal matiku
mati bagai ranting kering sakitku lebih sakit dari tikam perihku lebih perih
dari sayatan mati getir mati hancur badan….
III
Para lelaki menyeret perempuannya.
Lelaki: Selalu kukatakan padamu,
ketika melewati kota ini; ada sesuatu yang berseri esok hari. Di balik kabut,
bunga-bunga matahari. Tetapi jalanan ini tak membawa kita ke mana-mana, hanya
bayang-bayang kita sepanjang jalan, kesepian.
Tetapi selalu kukatakan padamu, ada
sesuatu yang berseri esok hari. Pulang, dan tidurlah, di suatu tempat — mungkin
di dalam mimpi, aku akan tersenyum menyapamu lagi…
Perempuan: Tetapi aku tidak bisa
tidur lagi. Kita tak punya tempat untuk kembali. Ibu-bapak sudah kukubur di
kebun belakang rumah; silsilah penuh kecemasan itu sudah selesai…
Ayolah ke laut, menyusur batas
pantai sebelum surut larut, menggertak camar-camar sasar, menghitung
kapal-kapal sandar, berpeluk di pendar cahaya mercusuar…
Atau kita ke museum, berpura-pura
jadi arca, stupa, lukisan pengantin dengan pakaian adat dan mas kawin… menjadi
nenek moyang yang diawetkan. Ayolah…aku hasratkan dingin jarimu menjelejah
lekuk relief pada dinding tubuhku…
Para lelaki melemparkan perempuannya. Menjadi badut yang menanggalkan
seluruh pakaiannya.
Lelaki: Aku melihat diriku di
sini, hari demi hari, terus menerus, menjadi tiada…
Para perempuan menangis. Menanggalkan payudaranya, rahimnya, kelaminnya,
matanya…
Perempuan: Kabut itu telah
kusingkap. Kau tinggal benamkan pisau di sini. Tolong, jangan ada apapun yang
kau simpan. Aku tidak lahir dari kenangan. Aku telah melukiskan
kisahku bersama semua yang pernah ada. Hancurkan apa yang mau kau hancurkan.
Dan kita tak perlu membangunnya
kembali…
IV
Mereka mencabik-cabik
tubuhnya. Lalu semua yang bernama
mesin menderu, mendesing. Lalu mantra-mantra. Sukma mereka berlepasan, terbang
dalam keheningan, bersenggama, menari seperti burung di langit yang kosong.
Burung-burung yang lelah, mengusung sepi di bahunya. Angin gelisah sendirian di
antara dedaunan, sayap-sayap malaikat koyak dan berdebu.
Syair (Lampung):
Semua syair sudah
kunyanyikan
Semua pantun sudah
kusampaikan
Semua kalimat sudah
kuucapkan
Semua diam sudah
kupecahkan
Aku tidak bisa lagi
menyimpan
Tak habis angin
ditiupkan
Tak usai badan
dihantamkan
Tak akhir langit
ditafsirkan
Tak terbilang nyeri
dituturkan
Sepilah sepi, sepi
badan, jiwa, dan pikiran
Tidurlah tidur, tidurnya
gunung, tidurnya bumi
Kaki sudah melangkah,
mata sudah dibuka
Bangunlah bangun segala
rahasia
Rahasia tanah, rahasia
samudera, rahasia cahaya
Jiwaku segenggam debu,
diserpih waktu
Terbanglah burung, oi,
terbanglah
Burung jiwa yang tak mau
kalah
Membawa sepi dan pisau
di sayapnya
Mengarungi waktu,
menempuh sunyi
Sunyi:
Malam itu, aku menghayati tubuhmu
sebagaimana ombak yang tak mungkin tanpa lautan. Di tengah kecemasan,
rasa putus asa, juga harapan; kita bergelora. Sukmamu kudekap, bibirmu
kukerkap. Kita disergap sebuah tenaga yang tak bisa kita tolak. Aku merasakan
tubuhmu tiba-tiba memancarkan cahaya putih dan berkilau. Ingin kutenggelamkan
seluruh hasrat di pancaran cahayamu. Aku menghirup aroma tubuhmu dengan segenap
panca inderaku. Tubuhmu menjadi altar, di mana kupersembahkan seluruh diri dan
hidupku.
Aku ingin sekali merebutmu,
membawamu pergi ke suatu tempat yang indahnya bahkan tak ada dalam mimpi. Di
tempat itu, semua cinta menjadi abadi.
Ah, gelap mulai mengendap. Sisa
hujan di daun-daun akasia digugurkan angin sore terakhir. Sebentar kan malam.
Bulan musim ini tampak pucat. Cinta menyimpan harapan dan kegembiraan sebesar
ia menyimpan kesedihan dan kecemasan…
Burung-burung berlepasan di udara meninggalkan
kekosongan.
Kenangan Kelima
Semua cerita tentang kenangan berlintasan,
bertabrakan, merebut benak setiap orang, dicampakkan dari setiap benak,
tercecer di jalan-jalan. Kenangan berusaha
menyusun dirinya sendiri.
Kenangan dieja seperti nama-nama,
seperti tanda-tanda. Kenangan gagal
diucapkan. Kenangan ingin terus menyatakan dirinya. Tapi tak satu pun yang
sempat mendengar dan menyimpannya.
Perempuan di bawah
payung:
Selalu kuingat Tanjungkarang;
hujan-hujan yang sejuk, perempuan-perempuan muda bernyanyi. Pagi hari, kaca-kaca
jendela berembun, langit hijau dan sepi menahun. Kota, dalam kenangan,
berpayung warna-warni. Dan orang-orang yang gemar perayaan dan pesta membangun
kampung halaman bagi para petualang.
Ada yang selalu kuingat tentang Tanjungkarang; hujan-hujan yang sejuk,
senandung perempuan; payung warna-warni, percakapan-percakapan tak berarti,
kehidupan yang tampak penuh gairah; dalam jemu dan lelah selalu merayakan
kesunyian.
Seseorang dengan mantel yang basah:
Kau tak membaca koran pagi itu. Kopi telah dingin di
cangkirmu. Hujan menyergap kita semalaman. Tubuhmu bau asam, bekas
keringat. Selimut kusut di atas ranjang. Kita bergelut dalam perih yang akut. Cinta telah padam, dosa
melebam. Seribu desis ular, sepatah istighfar. Rambutmu terbakar, hatiku semak
belukar. Bahkan saat kuserup bau rumput di lehermu, keningmu berkerut, mukamu
sayup, matamu seperti kaktus basah di halaman rumah. Kita, bangsat yang tak
bisa percaya, ada ihwal selain kesedihan.
Bayang sekarat panjang
dalam usungan:
Silam, bagaimana aku dapat
menemukanmu kembali, seluruh silsilahmu telah menjadi hutan yang menggemakan
kehilangan. Tanpa ibu, aku menyusuri sungai-sungai riwayat yang penuh bangkai
manusia dari berbagai zaman. Engkau tak sedikit pun menyisakan tanda dalam
diriku, hanya peta lama yang berulangkali kutafsirkan sebagai kampung halaman,
kota-kota masa lalu atau pelabuhan, yang entah sejak kapan hanya mencatat
sesuatu yang cuma sempat lewat. Aku telah yatim piatu dalam petualangan ini.
Tak pernah lagi kurindukan aroma puting susu ibu atau prasasti kegetiran di
kenaning bapak. Aku akan masuki kembali hutan itu. Menebang setiap pohonan yang
pernah kau pinta menanamnya, namun, tak kau perkenankan aku menamainya. Aku
memang tak bisa sesabar leluhur, terus menerus nyasar karena seluruh sejarah
ikut campur. O…Silam…bagaimana aku dapat menemukan kau lagi di antara segala
yang sudah menyerpih…
Dua laki-laki pembawa lonceng:
Malam ini, aku mendengar suara
batuk-batukmu di antara baju hangat dan hujan di ruang tunggu. Cuaca telah
menyiramkan cat paling pucat bagi kota dan orang-orang yang hanya datang dan
pergi. Tapi suara batuk-batukmu malam ini, mengirimkan perahu-perahu layar ke
dalam benakku, membawa seluruh penghuni kota, dan kita, dan sampah, tenggelam
bersama atas nama cinta.
Sunyi:
Ajak aku ke bioskop, seret aku dari
tempat ini. Cium aku, peluk aku, cintailah aku, karena aku tak bisa lagi
mencintai. Sentuhlah bahuku, sentuhlah bahuku, selebihnya biar kuselesaikan
sendiri…Fade out.
Perempuan Penembang:
Sore hari, menantikanmu dan tak
datang-datang. Sayap-sayap angin menerbangkan kebosanan bangku-bangku panjang.
Kupu-kupu mati, kenangan mengeras di ujung jalan. Aku tak bisa ke mana-mana. Di
dalam kamar; kemeja pucat, dan sejumlah surat tak terbalas. Sejumlah peristiwa gagal
menjadi masa lalu.
Aku, mungkin juga kamu, berada di
wilayah lain dari pertumbuhan kota yang rutin. Menggigil seperti putik-putik
sari di dahan rambutan. Aku tak bisa ke mana-mana, hujan makin deras
mengucurkan kegaduhan. Lagu-lagu dalam radio, tawa kanak-kanak di luar,
laki-laki mabuk di bawah hujan, kenyataan-kenyataan terlalu cepat membeku.
Tanjungkarang, Oktober 2003 s/d 4 Mei 2006
Catatan:
Warna Merah : kata/frase/kalimat/baris/bait yang
perlu didelete
Warna Hijau : Perubahan atas kesalahan ejaan,
perubahan atau penambahan
kata,
frase, kalimat/baris/bait atau kalimat
Pohon Waru : Sejenis Pohon Bunga berbatang besar, berusia
mencapai
puluhan tahun
dan biasa hidup di daerah tropis
Silam :
Laki-laki
Bayang : Perempuan
(Keduanya direpresentasikan dari teori psikologi anima dan
animus atau maskulinitas dan
feminitas yang terdapat dalam diri manusia. Namun bisa juga direpresentasikan
sebagai sepasang kekasih)
Laki-laki yang
Asing : Seseorang yang
identitas sex-nya ambigu dalam konteks sosial. Dia bisa menggambarkan Manizer atau Womanizer.
Dia hanyalah seseorang yang secara kultural tak punya masa lalu dalam
kebudayaan masyarakat. Mungkin dia lebih tepat dijuluki yang
ambigu daripada foreigner atau Stranger.
Sunyi, Perempuan Penembang, Perempuan Berpayung :
Representasi dari problem-problem femininitas dimana perempuan identik
dengan rumah, bumi, kampung halaman, tempat kembali , venus, kesetiaan, penantian. Dalam teks ini, semua peran dan
kategori itu mengalami guncangan
0 komentar:
Posting Komentar